Dinamika Politik Islam

8:16 AM Unknown 0 Comments





 Politik Islam di Indonesia sedikitnya ada dua cara memandang Islam dan politik di Indonesia pada masa lampau dan mungkin hingga menjelang reformasi. Pertama, Islam merupakan format dan tujuan yang digunakan untuk melakukan pengaturan kehidupan bangsa dan negara secara formal, legalistik, dan menyeluruh. Ini yang mungkin kemudian disebut 'Islam politik'. Kedua, Islam merupakan salah satu komponen yang membentuk, melandasi, dan mengarahkan bangsa dan negara. Inilah yang kemudian popular disebut 'Islam kultural'.
Kedua cara pandang tersebut sama-sama mengalami kesulitan untuk menempatkan peran Islam di dalam kehidupan politik riil (real politics) di Indonesia.
Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian setelah itu, umat Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia. Persoalannya ialah mampukah umat Islam Indonesia menyesuaikan dengan kecenderungan kebudayaan politik yang berkembang? Pertama-tama ia harus mengubah cara mengorganisasi umat Islam yang tidak lagi mendasarkan diri pada kesamaan agama, tetapi dengan bentuk-bentuk profesional. Dengan demikian, agama menjadi milik pribadi-pribadi yang tidak diartikulasikan secara formal. Kemudian setelah itu, umat Islam harus melakukan upaya-upaya sadar untuk berdampingan secara koeksistensif dengan kekuatan-kekuatan lain di Indonesia.
Politik Islam di Indonesia :
      Ada paradoks
      Islam sebagai sistem nilai dan moral semakin diminati
      Pada level individu/personal, sikap dan perilaku relijius makin kuat
      Islam sebagai ideologi politik makin tidak diminati
      Komitmen bersama terhadap penegakan syariah dan negara Islam semakin lemah

Pada pesta Demokrasi sekarang ini hampir bisa dipastikan setiap orang pasti ingin berpartisipasi minimal sebagai “suporter”. Namun di balik gegap gempita nya pesta tersebut ada sebagain orang yang justru secara sengaja atau tidak untuk keluar atau dengan kata lain bersikap tidak peduli (apatis) dengan alasan bahwa politik itu kotor sedangkan agama adalah wilayah yang sakral. Dan hal ini semakin sering kita dengar seiring banyaknya “kader-kader/petinggi-petinggi” NU yang menjadi calon wakil presiden dimana organisasi tersebut langsung mengambil keputusan agar cawapres tersebut untuk keluar atau dengan tidak mengatasnamakan “warga NU”
Islamisme adalah konsep yang kontroversial, bukan hanya karena paham ini menganjurkan peran politik Islam yang lebih kuat, akan tetapi juga karena pendukungnya berkeyakinan bahwa apa yang mereka perjuangkan adalah pemahaman Islam yang sebenarnya; bahwa semua gagasan sebaliknya — Islam harus apolitik atau dipisahkan Istilah Islamisme telah didefinisikan sebagai berikut: 

    • "Paham yang percaya bahwa Islam harus menjadi pedoman bagi kehidupan sosial, politik, dan pribadi.
    • Gerakan "pendukung pemerintah yang sesuai dengan hukum syariah [dan] memandang Quran sebagai model politik." (Associated Press's (AP) original definition of "Islamist")
    • Sebutan peyoratif terhadap ekstremis Muslim atau jenis Muslim yang "tidak disukai" media Barat.("Council on American–Islamic Relations complaint about old AP definition of Islamist)
    • "Ideologi [Islam] yang menjadi pedoman bagi masyarakat secara keseluruhan, dan [mengajarkan] bahwa hukum harus sesuai dengan syariat Islam"
    • Sebuah gerakan fleksibel yang tidak berkelanjutan... bahwa segalanya untuk semuanya: alternatif pemenuhan tuntutan sosial bagi massa yang miskin; mimbar "kemarahan" bagi kaum muda yang kecewa; seruan terompet perang yang menyerukan 'kembali ke agama yang murni' bagi mereka yang mencari identitas; sebuah "dasar agama progresif" bagi kaum yang makmur dan liberal; ... dan pada ujung ekstrem; sebuah wahana kekerasan bagi kaum rejeksionis dan radikal.
    • Sebuah "gerakan Islam yang membedaan dirinya dari budaya Barat, dan bercita-cita kembali ke simbol-simbol [Arab] pra-kolonial [Eropa]"
    • "Tren politik terorganisasi, yang terbentuk berkat berdirinya Ikhwanul Muslimin di Mesir pada 1928, yang mencari pemecahan masalah politik modern dengan bercermin pada kitab-kitab Islam"
    • "Seluruh tubuh pemikiran yang berniat memasukkan ajaran Islam ke dalam masyarakat, dapat bersifat integrasionis, tradisionalis, reformasi, bahkan revolusioner"
    • "Promosi dan penekanan aktif terhadap kepercayaan, ajaran, hukum, dan kebijakan yang berkarakter Islam,
    • Sebuah gerakan di mana "kaum Muslim mengambil ajaran, simbol, dan istilah Islam untuk menginspirasi, membentuk, dan menjiwai aktivitas politik;" yang mungkin berupa aktivitas yang damai, toleran, dan moderat, dan/atau mereka yang "menyerukan menolak toleransi dan mendukung penggunaan kekerasan.
    • Istilah yang "digunakan oleh pihak luar untuk menyebutkan sejenis kegiatan yang menjustifikasi kesalahpahaman dalam memahami Islam sebagai sesuatu yang kaku, tidak bergerak, dan lebih berafiliasi tribal.
Radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan.
Namun bila dilihat dari sudut pandang keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi, sehingga tidak jarang penganut dari paham / aliran tersebut menggunakan kekerasan kepada orang yang berbeda paham / aliran untuk mengaktualisasikan paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa.
Partai Radikal adalah sejumlah organisasi politik telah menyebut diri sebagai Partai Radikal, atau memiliki nama Radikal, yang termasuk partai-partai di Prancis, Italia, Britania Raya, Denmark, Argentina dan Kanada. Nama Radikal bisa memiliki sejumlah arti, bervariasi dari gerakan radikal asli untuk reformasi pemilihan yang dikaitkan dengan republikanisme juga dengan partai-partai liberal progresif, ke sayap ekstrem kiri maupun kanan dari spektrum-spektrum politik.
Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental). Karenanya, kelompok-kelompok yang mengikuti paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada di lingkungan agamanya sendiri. Mereka menganggap diri sendiri lebih murni dan dengan demikian juga lebih benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajaran agamanya telah "tercemar".Kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks-teks Kitab Suci yang otentik dan tanpa kesalahan. Mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka. Biasanya hal ini didasarkan pada tafsir atau interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam Kitab Suci atau buku pedoman lainnya.
Islam Militan ialah pendekatan Islam yang berpendirian bahawa agama Islam dan para pengikutnya harus memperjuangkan taraf politik dan agama mereka secara agresif. Serupa dengan kenyataan bahawa orang militan Muslim hanya merupakan sebagian para penganut agama Islam, begitu juga penyokong-penyokong keganasan dan terorisme hanya merupakan sebahagian para penganut Islam Militan. Oleh sebab Islam Militan seringnya dikaitkan dengan keganasan dan terorisme, maka penamaan seseorang sebagai pengikut Islam Militan kini seringnya menimbulkan banyak permasalahan. Para pengkritik yang menentang penamaan ini sering mendakwa bahawa terdapat sikap berat sebelah dan/atau prasangka terhadap penggunaan istilah ini.
Kelompok-kelompok yang menyokong Islam sebagai satu gerakan politik sedang bergerak maju terhadap keadaan-keadaan politik dan sejarah yang rumit yang berakar umbi di kawasan tempat masing-masing. Umpamanya, kebangkitan parti Jamaat-e-Islami yang konservatif di Bangladesh tidak akan dapat dimungkinkan tanpa pembalasan orang awam yang meluas terhadap kerajaan sekular di negara itu. Akan tetapi sejarah politik tempatan yang rumit ini hilang sekaligus dalam reduksionisme istilah yang terlalu mudah, umpamanya istilah fundamentalisme Islam, yang akhirnya tidak dapat memberikan banyak penerangan kecuali menyalahkan berbagai-bagai masalah keagamaan yang dihadapi bersama-sama oleh negara-negara kurang maju, termasuk keganasan dan kekurangan demokrasi.
Sebenarnya, penggunaan istilah "sikap militan Islam" adalah terlalu luas sehingga banyak gerakan pemberontakan di mana-mana negara Islam. Oleh itu, gerakan-gerakan nasionalisme, marxisme, dan kelompok etnik digolongkan bersama-sama sehingga istilah ini hilang atau salah dari kandungan ideologi yang benar. Satu-satunya ciri pentakrifan istilah ini adalah bahawa ia merujuk kepada sikap militan dalam konteks Islam, akan tetapi ini masih tidak dapat menerangkan apa-apa.
Para ahli gerakan-gerakan tersebut mungkin lebih menganggap diri sebagai pejuang kebebasan dan bukannya pengganas karena asal politik gerakan-gerakan ini di Israel, serta juga di wilayah Palestin, Afghanistan Soviet, Chechnya, dan paling terkini di Iraq pasca-Saddam seringnya berasaskan tuntutan-tuntutan untuk kenegaraan dan pemerintahan sendiri. Dalam masyarakat-masyarakat yang memiliki kebanyakan orang Muslim, sentimen-sentimen faham kebangsaan seringnya dicampurkan dengan perasaan identiti Muslim untuk menghasilkan sebuah ideologi Faham Jamiah Islam atau Faham Islam. Gerakan yang paling bersifat antarabangsa ialah Al Qaeda yang berasal daripada perjuangan faham kebangsaan, yaitu pemberontakan terhadap keluarga diraja Arab Saudi. Rezim Saudi tersebut telah dianggap sebagai terlalu berkait dengan dasar luar negeri Amerika Serikat, khususnya bantuannya kepada Amerika Serikat semasa pembebasan Kuwait dalam Perang Teluk yang pertama. Oleh sebab ideologi Al Qaeda merupakan ideologi nasionalisme dan perpaduan Faham Jamiah Islam, rezim Saudi diperlihatkan sebagai tidak cukup bersifat Islam, suatu pandangan yang memang membingungkan orang-orang Barat yang tidak dapat membayangkan ciri-ciri yang lebih bersifat Islam, berbanding dengan hukum-hukum Islam Wahhab. Khususnya kepada Al Qaeda, dunia ini dilihat sebagai suatu perjuangan antara ideologi Islam dengan ideologi Barat yang sekular. Banyak  pemerhati telah melihat bahwa pandangan dunia sekarang secara ironi telah diperkukuh oleh Perang Terorisme.
Relasi antara Islam dan politik di sejumlah kota di Indonesia menunjukan perubahan yang signifikan. Kalau pada masa sebelumnya politik identitas yang ingin ditampilkan oleh umat Islam ditekan sekuat-kuatnya, pada masa reformasi dengan diberlakukannya otonomi daerah, sejumlah kota yang berpenduduk Islam mulai ingin menampakan identitas kemusliman dirinya secara kolektif. Hal itu bisa dilihat dari sejumlah kota yang menuntut formalisasi syariah seperti Kabupaten Bireun (Aceh), Kota Tangerang (Banten), Indramayu (Jawa Barat), Tasikmalaya (Jawa Barat), Bulukumba (Sulawesi Selatan), sampai Bima (Nusa Tenggara Barat) dan lain-lain. Pelembagaan politik identitas yang diusung oleh para pionir umat Islam itu berkisar kepada kehendak untuk memformalkan aturan Islam kedalam ruang publik. Namun demikian kalau kita membuat kategorisasi tentang formalisasi syariah Islam, akan segera diketahui bahwa terdapat dua golongan yang berseberangan. Contohnya di Tasikmalaya, sebuah kota di Jawa Barat, yang belakangan ramai dibincangkan karena adanya usaha-usaha sebagian kalangan Islam untuk memformalisasi syari’at Islam ke dalam bentuk Perda (peraturan daerah). Meskipun secara formal usaha tersebut relatif berhasildengan diberlakukannya aturan yang berlandaskan pada Islam, kenyataannya Tasikmalaya memberikan contoh yang menarik bagaimana Islam kemudian menjadi wacana dominan dalam kehidupan simbolis penduduknya. “Islamisasi” kemudian tidak lagi diperdebatkan di ruang-ruang sidang DPRD atau sejenisnya, tetapi, misalnya, dalam simbol-simbol di jalan raya. Penguasa mencoba untuk memperlebar legitimasi kekuasaannya kepada simbol-simbol Islam dalam bentuk lain yang tidak  terbatas pada serentetan aturan-aturan formal, tetapi pada imaj-imaj yang dikonstruksikan kepada publik dalam bentuk-bentuk yang tak-terpikirkan.
Penerimaan masyarakat Tasikmalaya terhadap Islam sebenarnya tidak menghapus begitu saja ikatan terhadap agama dan kepercayaan sebelumnya. Yang terjadi adalah hibridisasi pada dua tataran sekaligus, pada tataran ideologis dan pragmatis. Pada tataran ideologis, Islam diterima sebagai bentuk tanggapan terhadap ketidakmampuan nilai-nilai di Tasikmalaya dalam hal ini adalah Sunda dalam menjawab tantangan perubahan yang telah melewati batas-batas komunitas yang sifatnya lokal. Sementara pada tataran pragmatis, agama dan kepercayaan lokal tetap dipertahankan sampai batas-batas tertentu karena dipandang masih mampu menjawab persoalan lokalitas yang tak mampu dijawab oleh Islam yang membawa nilai universal.
Politik Islam di Tingkat Lokal :
      Simbolis (Aceh, Tangsel, Tasikmalaya, Bulukumba)
      Mobilisasi sumber daya material (idem)
      Identitas primordial-parokial (Aceh)
      Melawan kritik dan dissenting opinion (Tasikmalaya dan Bulukumba)
      Melemahkan oposisi (Bulukumba)
      Mobilisasi elektoral (Tasikmalaya, Tangsel, Bulukumba)
      Politik akomodasi (Bulukumba, Tangsel)
Politik praktis oleh Islam tidak dipandang sebagai sesuatu yang tabu bahkan asing, namun hal yang harus dilakukan atas sebuah keharusan untuk manajemen kehidupan dunia. Islam sangat akrab dengan kegiatan politik sejak zaman Nabi dan masa setelahnya. Sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil dari seluruh perjalanan politik nabi dan kebijakan para Khulafa al Rasyidin adalah bagaimana umat Islam mengonsepsikannya sebagai sebuah kebijakan yang secara substansial tidak bertolak belakang dari ajaran syariat. Adapun praktek negara dan sistem yang dipakainya tidak perlu menggunakan nama aliansi keislaman, bukan nama atau simbol yang diharapkan, tapi muatan dan unsur kandungannya yang bisa sepihak dengan tujuan-tujuan Tuhan dalam berbagai kemaslahatan dalam kehidupan manusia.

Weimar (Sastroadmodjo, 1995) menyebutkan paling tidak ada 5 faktor yang mempengaruhi partisipasi politik :

1. Modernisasi. Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrialisasi, meningkatnya arus urbanisasi, peningkatan tingkat pendidikan, meluasnya peran media massa dan media komunikasi. Kemajuan itu berakibat pada meningkatnya partisipasi warga negara, terutama di perkotaan, untuk turut serta dalam kekuasaan politik. Mereka ini misainya kaum buruh, para, pedagang dan pars profesional.
2. Terjadinya perubahan-perubahan struktur kelas esensial. Dalam hal ini adalah munculnya kelas menengah dan pekerja baru yang semakin meluas dalam era industrialisasi. Kemunculan mereka tentu saja dibarengi tuntutan-tuntutan baru pada gilirannya akan mempengaruhi kebijakan- kebijakan pemerintah.
3. Pengaruh kaum intelektual dan meningkatnya komunikasi massa. Ide-ide nasionalisme, liberalisme, dan egaliterisme membangkitkan tuntutan- tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Komunikasi yang meluas mempermudah.
4. Adanya konflik di antara pemimpin-pemimpin politik. Pemimpin politik yang sating memperebutkan kekuasaan, seringkali untuk mencapai kemenangan dilakukan dengan cars mencari dukungan massa. Dalam konteks ini seringkali terjadi partisipasi yang dimobilisasikan.
5. Adanya keterlibatan pemerintah yang semakin meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. Meluasnya ruang lingkup aktivitas pemerintah ini seringkali merangsang tumbuhnya tuntutan yang terorganisasi untuk ikut serta dalam mempengaruhi perbuatan keputusan politik. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari perbuatan pemerintah dalam segala bidang kehidupan.

0 comments: